Nama : Akrim Aliudin
Kelas ; 1 KA 29
NPM : 10111525
BUDAYA BANGUNAN
FATAHILLAH
Tahun
1526, Fatahillah, dikirim oleh Kesultanan Demak, menyerang
pelabuhan Sunda
Kelapa di kerajaan Hindu Pajajaran, kemudian dinamai
Jayakarta. Kota ini hanya
seluas 15 hektar dan memiliki tata kota pelabuhan tradisional Jawa. Tahun 1619,
VOC menghancurkan Jayakarta
di bawah komando Jan Pieterszoon Coen. Satu tahun kemudian, VOC membangun kota
baru bernama Batavia untuk menghormati Batavieren,
leluhur bangsa Belanda. Kota ini terpusat di sekitar tepi timur Sungai
Ciliwung, saat ini Lapangan Fatahillah.
Penduduk
Batavia disebut "Batavianen", kemudian dikenal sebagai suku "Betawi", terdiri dari etnis kreol yang merupakan keturunan dari berbagai
etnis yang menghuni Batavia.
Tahun
1635, kota ini meluas hingga tepi barat Sungai Ciliwung, di reruntuhan bekas
Jayakarta. Kota ini dirancang dengan gaya Belanda Eropa lengkap dengan benteng
(Kasteel Batavia), dinding kota, dan kanal. Kota ini diatur dalam beberapa blok
yang dipisahkan oleh kanal. Kota Batavia selesai dibangun tahun 1650. Batavia
kemudian menjadi kantor pusat VOC di Hindia Timur. Kanal-kanal
diisi karena munculnya wabah tropis di dalam dinding kota karena sanitasi
buruk. Kota ini mulai meluas ke selatan setelah epidemi tahun 1835 dan 1870
mendorong banyak orang keluar dari kota sempit itu menuju wilayah Weltevreden
(sekarang daerah di sekitar Lapangan Merdeka). Batavia kemudian menjadi pusat
administratif Hindia Timur Belanda. Tahun 1942, selama
pendudukan Jepang, Batavia berganti nama menjadi Jakarta dan masih berperan
sebagai ibu kota Indonesia
sampai sekarang.
Tahun
1972, Gubernur
Jakarta, Ali Sadikin, mengeluarkan
dekrit yang resmi menjadikan Kota Tua sebagai situs warisan. Keputusan gubernur
ini ditujukan untuk melindungi sejarah arsitektur kota — atau setidaknya
bangunan yang masih tersisa di sana.
Meski
dekrit Gubernur dikeluarkan, Kota Tua tetap terabaikan. Banyak warga yang
menyambut hangat dekrit ini, tetapi tidak banyak yang dilakukan untuk
melindungi warisan era kolonial Belanda
Museum
Fatahillah terletak di Kota Tua Jakarta. Saya akrab dengan istilah Kota
Tua dari ketika saya membaca tentang Wina. Kota Eropa memiliki Old Town
dan saya pikir itu indah. Saya pikir itu luar biasa bahwa negara-negara
Eropa memiliki kota tua. Kemudian saya belajar bahwa Jakarta juga sebuah
kota tua, bukan sebagai besar atau dirawat dengan baik rekan-rekan Eropa, tapi
lebih baik daripada tidak sama sekali.
Pada
tahun-tahun awal kedatangan Belanda ke Batavia (dari 1619), gedung, yang
sekarang menjadi Museum Fatahillah, adalah pusat administrasi Perusahaan India
Timur Belanda atau juga dikenal di Belanda sebagai Vereenigde Oost-Indische
Compagnie atau VOC di singkat. Kami belajar di sekolah kita tentang VOC,
dan kita selalu terkait VOC sebagai penjajah Belanda awal. Kita sering
mencampur-adukkan panjang dengan pemerintah Belanda. VOC sebenarnya sebuah
perusahaan multi-nasional besar di era.
Pada
tahun 1627, bangunan menjadi balai kota Batavia, atau sebagai Belanda
menyebutnya, Stadhuis. Ia kemudian dibangun kembali mulai tahun 1707
sampai 1710 untuk menjadi bangunan yang kita lihat sekarang.Batavia adalah nama
lama Jakarta. Di Indonesia modern, masyarakat adat wilayah Jakarta dikenal
sebagai Betawi (istilah saat ini Batavia). Pada tahun 1710, bangunan itu
diresmikan oleh Gubernur Jenderal Pemerintah Kolonial Belanda, Abraham van
Riebeeck.
Pahlawan
nasional Indonesia, Pangeran Diponegoro, dipenjarakan dalam sel bawah gedung
pada tahun 1830. Penangkapan pangeran pemberontak itu melalui sarana
berbahaya. Jika saya tidak salah, pemerintah Belanda meminta sang pangeran
datang untuk negosiasi di bawah bendera gencatan senjata, tetapi di bawah
bendera gencatan senjata, ia ditawan. Ia menghabiskan beberapa waktu di
Stadhuis Batavia, maka tidak lama setelah itu, Pangeran Diponegoro diasingkan
ke Pulau Sulawesi (baik ke Menado atau Makassar), dan tetap di sana sampai
akhir hidupnya. Aku ingat bagaimana kita membenci kolonialisme Belanda
masa itu ketika kita mempelajari bagian sejarah ini di sekolah.
Bangunan
bersejarah menjadi Museum Fatahillah pada tahun 1974. Hal ini juga dikenal
sebagai Museum Sejarah Jakarta. Ini rumah koleksi benda-benda cagar budaya
yang berhubungan dengan sejarah Jakarta.
Kesimpulan
Jadi pada awalnya gedung fatahillah yg sekarang dikenal sebagai museum fatahillah namun dahulu kegunaan gedung tersebut sangat berbeda. Kota Batavia selesai dibangun tahun 1650. Batavia kemudian menjadi kantor pusat VOC di Hindia Timur.sejak pertama kali fatahillah dibangun bukan untuk menjadikan museum tetapi pada tahun-tahun awal kedatangan Belanda ke Batavia (dari 1619), gedung, yang sekarang menjadi Museum Fatahillah, adalah pusat administrasi Perusahaan India Timur Belanda atau juga dikenal di Belanda sebagai Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC di singkat. Pada tahun 1627, bangunan menjadi balai kota Batavia, atau sebagai Belanda menyebutnya, Stadhuis. Ia kemudian dibangun kembali mulai tahun 1707 sampai 1710 untuk menjadi bangunan yang kita lihat sekarang.Batavia adalah nama lama Jakarta. Di Indonesia modern, masyarakat adat wilayah Jakarta dikenal sebagai Betawi (istilah saat ini Batavia). Pada tahun 1710.
Pahlawan
nasional Indonesia, Pangeran Diponegoro, dipenjarakan dalam sel bawah gedung
pada tahun 1830. Penangkapan pangeran pemberontak itu melalui sarana
berbahaya. Jika saya tidak salah, pemerintah Belanda meminta sang pangeran
datang untuk negosiasi di bawah bendera gencatan senjata, tetapi di bawah
bendera gencatan senjata, ia ditawan. Ia menghabiskan beberapa waktu di
Stadhuis Batavia, maka tidak lama setelah itu, Pangeran Diponegoro diasingkan
ke Pulau Sulawesi (baik ke Menado atau Makassar), dan tetap di sana sampai
akhir hidupnya. Bangunan bersejarah menjadi Museum Fatahillah pada tahun
1974. Hal ini juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta. Ini rumah
koleksi benda-benda cagar budaya yang berhubungan dengan sejarah Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar