Rabu, 13 Juni 2012

Tugas Ilmu Budaya Dasar ( Budaya kerajaan sriwijaya) 5#


Nama             : AKRIM ALIUDIN
Kelas              : 1KA29
NPM               : 10111525

BUDAYA KERAJAAN SRIWIJAYA
Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di pulau Sumatra yang banyak berpengaruh di kepulauan Nusantara.Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 selama 6 bulan.Prasasti pertama mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, Sumatra, pada tahun 683.Kerajaan ini mulai jatuh pada tahun 1200 dan 1300 karena berbagai faktor, termasuk ekspansi kerajaan Majapahit.Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan".

                Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui keberadaan kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Coedès dari École française d'Extrême-Orient.Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan, Indonesia).

                Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Coedès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia.Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "Sanfoqi", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.

                Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatra awal, dan kerajaan besar yang dapat mengimbangi Majapahit di timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.

                Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Sanfotsi atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh.Bangsa Arab menyebutnya Zabag dan Khmer menyebutnya Melayu.Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.

Peta pengaruh Sriwijaya di abad ke-10

                Tidak banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Menurut Prasasti Kedukan Bukit, kekaisaran Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Çri Yacanaca (Dapunta Hyang Sri Jayanasa). Ia memimpin 20.000 tentara (terutama tentara darat dan beberapa ratus kapal) dari Minanga Tamwan ke Palembang, Jambi, dan Bengkulu.

                Kerajaan ini adalah pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tidak memperluas kekuasaannya diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang, Sumatra. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama - daerah a           ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok.[12] Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu lokal.

                Pada tahun 680 di bawah kepemimpinan Jayanasa, Kerajaan Melayu takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Melayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan. [13]. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Budha Sailendra di Jawa Tengah berada di bawah dominasi Sriwijaya. [14]. Berdasarkan prasasti Kota Kapur, imperium menguasai bagian selatan Sumatera hingga Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. [15]. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

                Ekspansi kerajaan ke Jawa dan semenanjung Melayu, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Palembang.[14] Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan di abad yang sama.[16]

                Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa yang selesai pada tahun 825.[17]

                Di abad ke-12, wilayah imperium Sriwijaya meliputi Sumatera, Sri Lanka, semenanjung Melayu, Jawa Barat, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Philipina.[18] Dengan penguasaan tersebut, kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang hebat hingga abad ke-13.[1]

 Budha Vajrayana

Sebagai pusat pengajaran Budha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Ching, yang melakukan kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India pada tahun 671 dan 695, serta di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Budha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet. I Ching melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan.

 Relasi dengan kekuatan regional

Meskipun catatan sejarah dan bukti arkeologi jarang ditemukan, tetapi beberapa menyatakan bahwa pada abad ke-7, Sriwijaya telah melakukan kolonisasi atas seluruh Sumatra, Jawa Barat, dan beberapa daerah di semenanjung Melayu. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Palembang mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, Melayu, dan India.

Kerajaan Jambi merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya yang akhirnya dapat ditaklukkan pada abad ke-7 dan ke-9. Di Jambi, pertambangan emas merupakan sumber ekonomi cukup penting dan kata Suwarnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Kerajaan Sriwijaya juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Kalimantan bagian Barat. Pada abad ke-11 pengaruh Sriwijaya mulai menyusut. Hal ini ditandai dengan seringnya konflik dengan kerajaan-kerajaan Jawa, pertama dengan Singasari dan kemudian dengan Majapahit. Di akhir masa, pusat kerajaan berpindah dari Palembang ke Jambi.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand sebagai ibu kota terakhir kerajaan, walaupun klaim tersebut tak mendasar. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bagunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom.

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti tertahun 860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di India selatan cukup baik dan menjadi buruk setelah terjadi peperangan di abad ke-11.

 Masa keemasan

Setelah terjadi kekacauan perdagangan di Kanton antara tahun 820 - 850, pemerintahan Jambi menyatakan diri sebagai kerajaan merdeka dengan mengirimkan utusan ke China pada tahun 853 dan 871. Kemerdekaan Jambi bertepatan dengan dirampasnya tahta Sriwijaya di Jawa dengan diusirnya raja Balaputradewa. Di tahun 902, raja baru mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya.

Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibn Batutah sangat terkesan dengan kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.



Kesimpulan
                Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di pulau Sumatra yang banyak berpengaruh di kepulauan Nusantara.Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 selama 6 bulan.Prasasti pertama mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, Sumatra, pada tahun 683. Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui keberadaan kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Coedès dari École française d'Extrême-Orient.Sekitar tahun 1992 hingga 1993. Setelah terjadi kekacauan perdagangan di Kanton antara tahun 820 - 850, pemerintahan Jambi menyatakan diri sebagai kerajaan merdeka dengan mengirimkan utusan ke China pada tahun 853 dan 871. Kemerdekaan Jambi bertepatan dengan dirampasnya tahta Sriwijaya di Jawa dengan diusirnya raja Balaputradewa. Di tahun 902, raja baru mengirimkan upeti ke China.


Rabu, 06 Juni 2012

Tugas Ilmu Budaya Dasar ( Budaya bangunan Fatahillah ) #4



Nama               : Akrim Aliudin
Kelas               ; 1 KA 29
NPM               : 10111525

BUDAYA  BANGUNAN  FATAHILLAH

Tahun 1526, Fatahillah, dikirim oleh Kesultanan Demak, menyerang pelabuhan Sunda Kelapa di kerajaan Hindu Pajajaran, kemudian dinamai Jayakarta. Kota ini hanya seluas 15 hektar dan memiliki tata kota pelabuhan tradisional Jawa. Tahun 1619, VOC menghancurkan Jayakarta di bawah komando Jan Pieterszoon Coen. Satu tahun kemudian, VOC membangun kota baru bernama Batavia untuk menghormati Batavieren, leluhur bangsa Belanda. Kota ini terpusat di sekitar tepi timur Sungai Ciliwung, saat ini Lapangan Fatahillah.
Penduduk Batavia disebut "Batavianen", kemudian dikenal sebagai suku "Betawi", terdiri dari etnis kreol yang merupakan keturunan dari berbagai etnis yang menghuni Batavia.
Tahun 1635, kota ini meluas hingga tepi barat Sungai Ciliwung, di reruntuhan bekas Jayakarta. Kota ini dirancang dengan gaya Belanda Eropa lengkap dengan benteng (Kasteel Batavia), dinding kota, dan kanal. Kota ini diatur dalam beberapa blok yang dipisahkan oleh kanal. Kota Batavia selesai dibangun tahun 1650. Batavia kemudian menjadi kantor pusat VOC di Hindia Timur. Kanal-kanal diisi karena munculnya wabah tropis di dalam dinding kota karena sanitasi buruk. Kota ini mulai meluas ke selatan setelah epidemi tahun 1835 dan 1870 mendorong banyak orang keluar dari kota sempit itu menuju wilayah Weltevreden (sekarang daerah di sekitar Lapangan Merdeka). Batavia kemudian menjadi pusat administratif Hindia Timur Belanda. Tahun 1942, selama pendudukan Jepang, Batavia berganti nama menjadi Jakarta dan masih berperan sebagai ibu kota Indonesia sampai sekarang.
Tahun 1972, Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, mengeluarkan dekrit yang resmi menjadikan Kota Tua sebagai situs warisan. Keputusan gubernur ini ditujukan untuk melindungi sejarah arsitektur kota — atau setidaknya bangunan yang masih tersisa di sana.
Meski dekrit Gubernur dikeluarkan, Kota Tua tetap terabaikan. Banyak warga yang menyambut hangat dekrit ini, tetapi tidak banyak yang dilakukan untuk melindungi warisan era kolonial Belanda

Museum Fatahillah terletak di Kota Tua Jakarta. Saya akrab dengan istilah Kota Tua dari ketika saya membaca tentang Wina. Kota Eropa memiliki Old Town dan saya pikir itu indah. Saya pikir itu luar biasa bahwa negara-negara Eropa memiliki kota tua. Kemudian saya belajar bahwa Jakarta juga sebuah kota tua, bukan sebagai besar atau dirawat dengan baik rekan-rekan Eropa, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali.
Pada tahun-tahun awal kedatangan Belanda ke Batavia (dari 1619), gedung, yang sekarang menjadi Museum Fatahillah, adalah pusat administrasi Perusahaan India Timur Belanda atau juga dikenal di Belanda sebagai Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC di singkat. Kami belajar di sekolah kita tentang VOC, dan kita selalu terkait VOC sebagai penjajah Belanda awal. Kita sering mencampur-adukkan panjang dengan pemerintah Belanda. VOC sebenarnya sebuah perusahaan multi-nasional besar di era.
Pada tahun 1627, bangunan menjadi balai kota Batavia, atau sebagai Belanda menyebutnya, Stadhuis. Ia kemudian dibangun kembali mulai tahun 1707 sampai 1710 untuk menjadi bangunan yang kita lihat sekarang.Batavia adalah nama lama Jakarta. Di Indonesia modern, masyarakat adat wilayah Jakarta dikenal sebagai Betawi (istilah saat ini Batavia). Pada tahun 1710, bangunan itu diresmikan oleh Gubernur Jenderal Pemerintah Kolonial Belanda, Abraham van Riebeeck.
Pahlawan nasional Indonesia, Pangeran Diponegoro, dipenjarakan dalam sel bawah gedung pada tahun 1830. Penangkapan pangeran pemberontak itu melalui sarana berbahaya. Jika saya tidak salah, pemerintah Belanda meminta sang pangeran datang untuk negosiasi di bawah bendera gencatan senjata, tetapi di bawah bendera gencatan senjata, ia ditawan. Ia menghabiskan beberapa waktu di Stadhuis Batavia, maka tidak lama setelah itu, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Pulau Sulawesi (baik ke Menado atau Makassar), dan tetap di sana sampai akhir hidupnya. Aku ingat bagaimana kita membenci kolonialisme Belanda masa itu ketika kita mempelajari bagian sejarah ini di sekolah.
Bangunan bersejarah menjadi Museum Fatahillah pada tahun 1974. Hal ini juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta. Ini rumah koleksi benda-benda cagar budaya yang berhubungan dengan sejarah Jakarta.

Kesimpulan
            Jadi pada awalnya gedung fatahillah yg sekarang dikenal sebagai museum fatahillah namun dahulu kegunaan gedung tersebut sangat berbeda. Kota Batavia selesai dibangun tahun 1650. Batavia kemudian menjadi kantor pusat VOC di Hindia Timur.sejak pertama kali fatahillah dibangun bukan untuk menjadikan museum tetapi pada tahun-tahun awal kedatangan Belanda ke Batavia (dari 1619), gedung, yang sekarang menjadi Museum Fatahillah, adalah pusat administrasi Perusahaan India Timur Belanda atau juga dikenal di Belanda sebagai Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC di singkat. Pada tahun 1627, bangunan menjadi balai kota Batavia, atau sebagai Belanda menyebutnya, Stadhuis. Ia kemudian dibangun kembali mulai tahun 1707 sampai 1710 untuk menjadi bangunan yang kita lihat sekarang.Batavia adalah nama lama Jakarta. Di Indonesia modern, masyarakat adat wilayah Jakarta dikenal sebagai Betawi (istilah saat ini Batavia). Pada tahun 1710.
Pahlawan nasional Indonesia, Pangeran Diponegoro, dipenjarakan dalam sel bawah gedung pada tahun 1830. Penangkapan pangeran pemberontak itu melalui sarana berbahaya. Jika saya tidak salah, pemerintah Belanda meminta sang pangeran datang untuk negosiasi di bawah bendera gencatan senjata, tetapi di bawah bendera gencatan senjata, ia ditawan. Ia menghabiskan beberapa waktu di Stadhuis Batavia, maka tidak lama setelah itu, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Pulau Sulawesi (baik ke Menado atau Makassar), dan tetap di sana sampai akhir hidupnya. Bangunan bersejarah menjadi Museum Fatahillah pada tahun 1974. Hal ini juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta. Ini rumah koleksi benda-benda cagar budaya yang berhubungan dengan sejarah Jakarta.


                  http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Tua_Jakarta